Cerpen : Pintu Daging

Oleh : Habib Asfiya Jauhari*

Didepanku hanya ada pintu. Ya, pintu-pintu kulit yang tersamar atas baja-baja yang berjajar di depan, belakang, kanan, kiri, atas dan bawah dari tubuh ringkih seorang aku. Aku berada ditengah pintu. Ah, tidak. Aku berada di dalam pintu-pintu. Daging-daging itu membelengguku. Seakan tidak memberiku ruang untuk sekedar buang angin di depannya.

Dari awal aku sadar. Banyak pintu yang menghadang, tapi mereka bukan tembok. Hanya pintu, itu saja. Tidak ada yang aneh dengan pintu-pintu itu. Mereka semua mempunyai gagang dan lubang kunci dengan kunci yang masih menusuk di lubangnya. Aku masih sadar untuk melihat pintu-pintu itu berkeliaran mengelilingiku dan berputar-putar, tetapi akan berhenti, bila aku berhenti berpikir tentang pintu-pintu itu. Saat ini pun aku masih sadar, bahwa itu hanya pintu.

Aku masih diam didepan sebuah pintu. Bagaimana pintu itu berdiri? Bagaimana pintu itu ada? Bagaimana pintu itu disana? Mengapa pintu itu bentuknya begitu? Siapa yang membuat pintu itu? Apa bahan pembentuknya? Siapa yang membeli kayunya? Siapa yang membeli kuncinya? Oh, masih banyak pertanyaan yang memutar secepat putaran pintu-pintu dikepalaku. Pertanyaannya masih seputar pintu dan pintu saja. Aku bahkan lupa untuk memikirkan diriku sendiri. Seakan terbawa euphoria pintu yang berada didepanku, atau mungkin latah terbawa pintu. Apakah itu pintu? Bahkan aku tak berani untuk menyentuhnya.

Aku, yang miskin dan fakir dikuadratkan, masih tetap diam. Di sana ada istriku. Di sana ada anak-anakku. Di sana ada sepiring nasi putih bersama sepotong tahu putih yang telah masak. Di sana, di seberang pintu-pintu ini, ada mereka, mereka, itu, itu dan banyak itu. Aku semakin larut dalam pikiran tentang pintu. Pikiranku masih berjalan, tetapi mulutku kelu, mau mengeja apa lagi untuk sebuah kata agar terluncur diri katupan kedua bibirku.

Aku melihat semuanya. Tidak ada satir sama sekali didepan pandanganku. Bahkan aku bisa mendengar rengek anakku dan bisa melihat wajah sendu istriku. Bukan sekedar basa-basi aku melihat. Aku sungguh bisa melihat dan bisa mendengar apapun disekelilingku. Tidak ada halangan, aral dan rintangan kecuali hanya pintu-pintu daging yang masih tetap kokoh berdiri di sekitarku dan dalam jiwaku.

Dipan kayu tempat anakku menggelayut dalam dekapan ibunya berderak. Aku masih terkurung, melihat kedua makhluk yang aku cintai itu berdiri, sedikit memandangku, dan kemudian pergi entah kemana. Yang pasti mereka melewati pintu kayu yang aku beli di deretan lapak tukang kayu sepanjang jalan yang dulu pernah aku lewati. Pintu itu juga berderak kemudian bergerak berlawanan arah jarum jam, lalu berkeadaan seperti semula lagi.

Kursi kayu tempat aku duduk sekarang semakin sempit dan sepertinya juga mengecil. Walaupun aku di tengah ruangan, aku merasa terpojok sendirian di kolong langit paling gelap sejagad. Hanya ada aku, aku, aku dan pintu-pintu daging yang masih segar menyumbat seluruh aliran darahku, juga kursiku.
Otakku masih berpikir, eh, atau hanya aku yang berpikir? Otakku sudah berlari tunggang-langgang sebelum kehadiran pintu-pintu itu. Sekarang hanya aku yang berpikir tentang pintu daging segar. Mengapa ada di sana? Di depan pelupuk mataku.

Berseberangan dengan inginku, pintu daging segar itu menatapku tajam. Bulu mata mereka adalah anak panah dengan maha racun yang entah di peroleh dari jaman Singosari atau Majapahit. Namun racun itu belum sampai membunuhku. Maha racun itu masih terhalang oleh baja yang masih melekat pada masing-masing pintu.

Aku tak dapat berpikir lagi. Mungkinkah pikiranku juga ikut-ikutan lari meninggalkanku? Tetapi mataku masih terpejam, masih takut melihat daging yang berperan menjadi pintu itu. Mulutku terkatup, dan telingaku pun sudah merasa takut untuk mendengar suara apapun dari pintu. Hidungku saja yang masih aktif melakukan tugasnya mengabdi pada diriku, walaupun aku sendiri sudah mencoba menutup segala kehidupan dalam diriku. Aku pasrah dengan apapun. Semua organ tubuhku apatis, tidak ada yang mempunyai ide jalan keluar dan tidak ada yang berani keluar.

Tetap diam bukan merupakan jalan terbaik, tapi itu tetap kulakukan sejak pintu-pintu itu datang ke rumahku. Anak istriku takut karenanya. Apalagi aku yang sekarang menjadi menu santapan empuk tersaji didepan mereka. Bahkan untuk menyantapku, mereka tak perlu menggunakan gigi, sekali telan sudah cukup.

Aku masih terpojok, menatap gelap selaput mataku, sedari tadi. Tapi aku mulai kehilangan kesadaran. Aku berteriak, “Keluar!!!”. Aku tak sadar, mataku terbuka, aku dapat mendengar suaraku sendiri. Satu pintu didepanku seketika rubuh tanpa ada komando. Yang aku rasakan adalah pukulan setai burung merpati diantara gemuruh gelombang sakit dalam diriku sendiri. Tiada darah yang mau keluar dari tubuhku. Mungkin mereka malu mempunyai tuan seperti aku. Mereka ada nekat mengintip dibawah tirai kulitku yang tipis. Merekapun tak kalah malu dengan saudara mereka yang masih di dalam aliran. Yang mengintip segera menyembunyikan identitasnya dengan merubah diri menjadi kebiruan.

Terlihat perubahan warna pada permukaan pintu-pintu daging segar itu. Semula masih segar memerah, sekarang menghitam menyesuaikan kulit luar yang mereka sandang. Bahkan salah satunya telah menghantamku. Tidak ada make-up rekayasa dalam adegan hidupku ini.

Aku tahu, kepala mereka kosong seperti perut bedug. Semakin dipukul, akan semakin keras bunyinya. Pemukul itu segera kubuang jauh sekali. Bahkan aku tak dapat melihatnya lagi. Aku bersujud, menempelkan dahi kehormatanku di tanah kotor dekat sepatu-sepatu mengkilat pintu depan mukaku. Telah bulat kuputuskan akan menyimpan sendiri gelombang dukaku dilaut jiwaku melalui birunya pipiku akibat bekas tamparan sebuah palang pintu. Tidak ada kata mengaduh keluar seteriak tadi aku menyuruh mereka keluar.

Terhina adalah sebuah keniscayaan untukku saat ini. Aku ingin segera menyingkirkan pintu-pintu ini, bagaimanapun caranya. Terlampau lelah aku menghadapi mereka selama ini. Atau mungkin menyingkirkan diriku akan lebih mudah.

“Brak…”, pintu kayu rumahku ditendang orang dari luar. Aku merasa telah menjadi magnet luar biasa bagi tetanggaku. Mereka menyemut di depan gubukku, menantang garang sang debt collector. Seketika semua pintu terbuka, mereka lari. Istri dan anakku melayang menghampiriku dengan tetesan air mata.
Kini aku sadar kembali, besok atau lusa mereka akan datang lagi, dan aku akan mati.
.................................................
_____________________
*Habib Asfiya Jauhari, Alumni Pesantren Raudlatul ‘Ulum Guyangan Trangkil Pati Jawa Tengah Angkatan 2008. Kini kuliah di Jurusan Akuntansi Pemerintahan STAN.
Related Posts

Tambahkan Komentar Sembunyikan