Globalisasi dan Kisah Kesenjangan

Oleh : Ahmad Musthofa-Haroen

Mempersilakan atau menghadang globalisasi boleh jadi terlihat sebagai dua perkara yang berbeda. Padahal, sama halnya dengan pilihan menjadi kapitalis atau sosialis, ternyata persoalan hidup tidak melulu melekat pada ilusi teoritis atau ideologis, tapi lebih tergantung pada kesanggupan menyadari situasi sejarah sekaligus kesanggupan untuk memberi bentuk kepadanya. Globalisasi sepenuhnya adalah situasi sejarah yang digerakkan bukan oleh dirinya tetapi oleh selaksa pikiran dan tindakan manusia.


Menganjurkan globalisasi sebagai keniscayaan yang mustahil dielak, sama saja dengan khotbah tentang hari kiamat. Sementara mengutuknya, tak jauh beda dengan ajakan kembali ke zaman purba. Dua pendirian yang kelihatan berkebalikan ini ternyata sebangun dalam asumsi, yakni menempatkan manusia sebagai diri yang takluk dan lumpuh.

Selama ini, euforia dan kutukan orang terhadap globalisasi lebih sering berkubang dan dilokalisir pada wilayah fashion, mindset, selera, busana, atau bahasa. Pada dimensi gaya hidup lah, gobalisasi cenderung bermakna penyeragaman. Penyeragaman dibutuhkan agar bisnis trans-nasional makin berkibar. Sementara pada dimensi kesejahteraan, globalisasi mendorong kesenjangan. Dan demikianlah, pada jantung persoalan yang sesungguhnya, globalisasi adalah soal ekonomi. Ilustrasinya tergambar dalam statistik berikut. 

Diperkirakan nilai pasar telekomunikasi dunia kini lebih dari 1 trilyun dolar AS. Angka ini niscaya tambah membengkak jika diimbuhi nilai bisnis teknologi komputer. Sementara, angka transaksi business-to-costumer (B2C) online mencapai 108 milyar dolar AS sementara business-to-business (B2B) 1.3 trilyun dolar AS. Dari sini muncul klaim bahwa globalisasi yang dipompa teknologi bisa mendongkrak kegiatan ekonomi. Sementara, pada 1960, terdapat 20% warga paling kaya menguasai 70,2% kekayaan dunia. Sementara 20% warga paling miskin hanya mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Angka ini berubah drastis pada akhir 1990 dimana 20 % warga yang paling kaya itu sudah menguasai 86 persen kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 persennya (Yanuar Nugroho, 2006).

Jika orang sering menyebut  globalisasi berwatak boarderless, watak yang melesapkan batas teritorial negara, statistik ini nampaknya juga perlu dipertimbangkan. Tahun 1971, dari transaksi finansial global per hari yang mencapai 1,4 milyar dolar AS, 90 persennya beroperasi di sektor real. Sisa 10% berputar-putar pada saham, valas dan sebagainya. Angka itu mulai berbalik mulai tahun 1990. Hingga di tahun 2000, sekitar 95% dari transaksi finansial global yang besarnya 1,5 triliun dolar per hari, 40 persennya adalah  transaksi spekulatif dengan kecepatan mondar-mandir antar negara 1-7 hari. 40 persen yang lain kecepatannya kurang dari 2 hari (B. Herry-Priyono, 2007).

Kini, globalisasi yang ditopang perkembangan TIK semakin didesakkan ke seluruh penjuru dunia. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, sudah lama mengingatkan globalisasi sebagai hubungan asimetris antar negara yang ujung-ujungnya adalah hasil keuntungan yang asimetris pula (2003).  Statistik di atas menandai era di mana kegiatan ekonomi mengalami ketercerabutan dari daya hidup (survival) komunitas. nampaknya, di situlah kemudian kita terjebak dalam dilema. Memerosokkan atau melarikan diri dari globalisasi sama-sama bukan lah jalan keluar.

Jika demikian, lantas apa makna daya saing di era globalisasi dalam konteks ekonomi? Sejauh mana kebermaknaannya bagi masyarakat Indonesia? Bukankah tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia semakin meningkat? Bukankah peningkatan itu berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan?

Ijinkan saya menyodorkan dua asumsi pokok untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, korelasi TIK dengan ekonomi tidak berada dalam logika kausal sederhana. Tidak seperti “ada api maka langsung ada asap”, antara teknologi dan ekonomi terbentang korelasi yang berlapis-lapis. Petani kentang di dataran tinggi Dieng pernah berujar begini, “aku sudah punya imel dan pesbuk, tapi bagaimana caranya harga jual kentang bisa bagus?” Lalu, tanpa berpikir rumit, kita pun tahu, perangkat seperti telepon genggam dan komputer tidak dengan sendirinya menyejahterakan petani. Dalam praktiknya, penawaran dan permintaan bukan sesuatu yang terprogram secara otomatis lantaran di sana ada jaringan ekonomi melibatkan lebih dari sekadar kekuatan yang lebih perseorangan dan komunitas.

Gugus modal (capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) mesti padu jika yang disasar adalah keadilan ekonomi. Sementara, kita menjumpai banyak kasus di mana komunitas yang menempati suatu wilayah dengan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi justru tidak ikut menikmati hasilnya. Demikianlah, ekonomi di era globalisasi kerap ditandai dengan kinerja modal yang mencerabut manusia dari konteks kewilayahannya. Di situ, peran negara sebenaranya sangat dibutuhkan untuk mengatur distribusi yang adil. Problemnya, negara sudah sedemikian lemah peranannya justru ketika ia sangat dibutuhkan. Dan kita tahu belaka, pelemahan negara itu sudah berlangsung sejak lama melalui deregulasi ekonomi dan kebobrokan mentalitas pejabat publik.

Kedua, pengembangan TIK di negara berkembang cenderung bias. Setidaknya ada tiga bias yang penting dalam kaitannya dengan ekonomi: bias wilayah, bias kelas, dan bias gender. Secara umum, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Kini, diperkirakan ada lebih dari 30 juta pengguna internet di Indonesia (data Internet Worldstats  tahun 2009). Ini artinya hanya sekitar sepertujuh dari total populasi masyarakat Indonesia. Konsentrasinya memusat di wilayah Indonesia Barat, terutama kawasan rural pulau Jawa. Sementara dari 105.001 desa di bali dan Indonesia Timur, sebanyak 68.650 desa tak tersentuh internet (blogs.depkominfo.go.id). Dalam hal gender, data indikator telematika tahun 2005 menyebutkan pengguna internet  di Indonesia lebih banyak pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).

Situasi yang sarwa-bias itu masih diperparah dengan kecenderungan pemanfaatan produk TIK dalam wabah konsumerisme. Padahal, untuk menjadi masyarakat informasi, kultur baca-tulis adalah prasyarat mutlak. Itu pula yang antara lain membuat UU ITE hanya berbunyi pada urusan seremeh pornografi. Apa yang diatur oleh UU ITE belum lagi menjadi urusan nyata bagi masyarakat luas. Di sini lah tantangan di level social engineering ternyata lebih berat ketimbang mendesakkan mechanical engineering. 

Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk berpandangan muram. Saya ikut barisan orang yang optimis dengan kekuatan ekonomi informal yang terbukti tangguh diterpa badai krisis moneter sementara ekonomi spekulatif terpuruk tak karuan. Yang ingin ditegaskan, dengan mencermati kinerja globalisasi yang bergandengan dengan nalar neoliberal, pemanfaatan TIK sungguh-sunguh mesti dihayati sebagai bagian dari kerja patriotik. Mengapa patriotik? Sederhana, makna patria adalah tanah. Menjadi patriotik adalah mengerahkan segenap upaya agar segenap sumber daya alam Indonesia sebisa mungkin diselamatkan agar tidak tercerabut dari daya hidup (survival) masyarakat Indonesia. Relakah kita jika kekayaan alam ini sekadar dikonversi menjadi angka-angka digital dalam bursa saham yang dipermainkan para spekulan?
__________________________
*Makalah ini disusun sebagai pengantar “Jalsah Malming” 28 Agustus 2010 di Komplek X Krapyak, Yogyakarta.
 
*Ahmad Musthofa Haroen, Alumni Pesantren Raudlatul ‘Ulum Guyangan Trangkil Pati Jawa Tengah Angkatan 2007. Kini belajar di Ma’had Aly Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dan nyambi kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM.
Related Posts

Tambahkan Komentar Sembunyikan